Selasa, 17 Desember 2013

Idealism vs Realism

Oleh: Ramadhan Fardiansyah

Idealis dan Realis, 2 kosakata ini sering kita dengar di dalam kehidupan sehari-hari, namun dari apa yang kita lihat di masyarakat Indonesia saat ini nampaknya Konsep Idealis mulai ditinggalkan dan dijauhi bahkan dari pengamatan saya, konsep idealis lebih sering mendapat "label negatif".

Saya sering mendengar orang mengatakan hal-hal negatif mengenai orang yang punya idealisme tertentu. Entah itu mulai dari sindiran hingga secara terang-terangan telah banyak ditujukkan kepada orang-orang yang mempunyai kesetiaan tertentu terhadap ide yang mereka yakini benar.
Orang-orang Indonesia, menganggap bahwa idealisme adalah suatu konsep yang harus ditinggalkan jauh-jauh dalam menjalankan hidup agar mendapatkan hidup yang baik. Benarkah itu?

Idealisme adalah suatu keyakinan atas suatu hal yang dianggap benar oleh individu yang bersangkutan dengan bersumber dari pengalaman, pendidikan, kultur budaya dan kebiasaan. Idealisme tumbuh secara perlahan dalam jiwa seseorang, dan termanifestasikan dalam bentuk perilaku, sikap, ide ataupun cara berpikir.
Pengaruh idealisme tidak hanya terbatas pada tingkat individu, tapi juga hingga ke tingkat negara. Nilai-nilai idealisme yang mempengaruhi individu contohnya adalah keyakinan mengenai pola hidup, nilai-nilai kebenaran, gaya mengasuh anak, karir dan lain sebagainya. Sedangkan idealisme pada tingkatan negara adalah seperti Ideologi Pancasila, komunisme, liberalism dan masih banyak lagi.

Sedangkan realisme adalah suatu sikap/pola pikir yang mengikuti arus. Individu yang realistis cenderung bersikap mengikuti lingkungannya dengan mengabaikan beberapa/semua nilai kebenaran yang dia yakini. Sama dengan idealisme, realisme tumbuh secara perlahan dalam jiwa dan pikiran seseorang.
Realisme-pun tidak hanya terbatas pada individu, tapi juga pada level-level diatasnya hingga ke tingkat negara. Nilai-nilai realisme yang mempengaruhi individu pada umumnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan materi. Namun tidak tertutup kemungkinan juga pada hal-hal lain seperti budaya politik, norma reliji (sistem kepercayaan) dan banyak hal-hal lainnya.

Seperti yang telah saya tuliskan di atas bahwa batasan tulisan ini hanya untuk menjawab pernyataan kaum realis yang menganggap bahwa idealisme adalah sampah kehidupan. Untuk menyederhanakan tulisan ini agar mudah ditangkap oleh semua orang, saya akan menggunakan pendekatan perbandingan saja.
Idealisme pada dasarnya adalah perubahan, terlepas dari apakah perubahan itu baik atau buruk. Sebagai contoh idealisme positif, ingat ketika Martin Luther menentang gereja Katolik Eropa? Banyak orang ketika itu mencemoohnya sebagai orang yang idealis dengan menafikkan kenyataan-kenyataan di lapangan dan keamanan hidupnya sendiri. Namun dengan kekuatan idealisme yang luar biasa akhirnya Martin Luther mampu melahirkan gerakan reformasi (pada masa itu) dan tetap bertahan hingga hari ini.
Untuk contoh buruknya, lihat idealisme yang dilakukan oleh Adolf Hitler. Dengan keyakinannya atas buruknya kaum Yahudi dan Komunisme, dia bisa menjadi penguasa Eropa dan membinasakan kaum Yahudi dan Komunis. Padahal ketika zamannya ketika itu, korporasi Yahudi dan dominasi politik komunis begitu kental dilingkungannya sehingga pada awal-awal perjuangannya Hitler justru lebih banyak mendapat hinaan dan cemooh ketimbang dukungan. Tentu saja contoh buruk ini jangan ditiru karena justru merupakan kemunduran dalam peradaban manusia.

Sebutlah semua pemimpin besar dunia: Mahatma Gandhi, Mother Teressa, Aung an su kyi, Che Guevara, Julius Caesar, Plato, Socrates, Soekarno, Soe Hok Gie dan masih banyak pemimpin besar dunia atau tokoh lainnya yang penuh dengan idealisme-idealismenya walaupun kadang hal itu menjadi faktor utama berakhirnya hidup mereka.

Socrates contohnya: dia bersikukuh bahwa pemerintahan demokrasi Athena pada kala itu adalah pemerintah yang busuk dan korup. Walaupun banyak kerabatnya dan murid-muridnya yang membujuknya agar tidak terlalu idealis dengan keyakinannya karena akan membahayakan nyawanya, dia tetap saja lantang menentang demokrasi Athena. Walhasil, senat Athena memerintahkannya menenggak racun sebagai bentuk hukuman mati atas penghinaannya kepada senat, dan matilah Socrates dalam memperjuangkan idealismenya.

Selasa, 10 Desember 2013

Teori Belajar Kontruktivisme



MAKALAH
TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME

Tujuan Pembuatan Makalah ini Semata-mata Untuk Menyelesaikan Tugas Mata Kuliah Belajar dan Pembelajaran



 





Disusun Oleh:
Ø            Achmad Lutfi Jauhari             ( 118992 )
Ø            Ali as’ad                                ( 118948 )
Ø            Arief Budiman                       ( 118947 )
Ø            Dani Hadika                          ( 118950 )
Ø            Dika Prajawan                       ( 118932 )
Ø            Edwin Prasetyo                     ( 118963 )
Ø            Hafid Alfiyanto                      ( 118970 )
Ø            Ramadhan Fardiansyah          ( 118974 )
Ø            Venny Andriani                      ( 118799 )



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN JASMANI DAN KESEHATAN
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
 JOMBANG
 2013






BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Saat ini terdapat beragam inovasi baru di dalam dunia pendidikan terutama pada proses pembelajaran. Salah satu inovasi tersebut adalah konstruktivisme. Pemilihan pendekatan ini lebih dikarenakan agar pembelajaran membuat siswa antusias terhadap persoalan yang ada sehingga mereka mau mencoba memecahkan persoalannya
Seorang guru perlu memperhatikan konsep awal siswa sebelum pembelajaran. Jika tidak demikian, maka seorang pendidik tidak akan berhasil menanamkan konsep yang benar, bahkan dapat memunculkan sumber kesulitan belajar selanjutnya. Mengajar bukan hanya untuk meneruskan gagasan-gagasan pendidik pada siswa, melainkan sebagai proses mengubah konsepsi-konsepsi siswa yang sudah ada dan di mana mungkin konsepsi itu salah.
Maka dari permasalahan tersebut, pemakalah tertarik melakukan penelitian konsep untuk mengetahui bagaimana sebenarnya hakikat teori belajar konstruktivisme ini bisa mengembangkan keaktifan siswa dalam mengkonstruk pengetahuannya sendiri, sehingga dengan pengetahuan yang dimilikinya peserta didik bisa lebih memaknai pembelajaran karena dihubungkan dengan konsepsi awal yang dimiliki siswa dan pengalaman yang siswa peroleh dari lingkungan kehidupannya sehari-hari.


B.     Tujuan Penuliasan
1.      Untuk mengetahui definisi Teori Belajar Konstruktivisme dari berbagai tokoh.
2.      Untuk mengetahui konsep Teori Belajar Konstruktivisme
3.      Memahami bagaimana mekanisme Teori Belajar Konstruktivisme dalam aplikasi pembelajaran.

BAB II
PEMBAHASAN

A.           Teori Jean Piaget
Teori belajar konstruktivistik yang dikembangkan oleh Piaget dikenal dengan nama konstruktivistik kognitif (personal constructivism). Jean Piaget mendefinisikan Teori Konstruktivisme sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan menciptakan sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Teorinya berisi konsep-konsep utama di bidang psikologi perkembangan dan berkenaan dengan pertumbuhan intelegensi, yang untuk Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih akurat merepresentasikan dunia, dan dan mengerjakan operasi-operasi logis dari representasi-representasi konsep realitas dunia.
 Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak. Pada teori ini konsekuensinya dalah siswa harus memiliki ketrampilan unutk menyesuaikan diri atau adaptasi secara tepat.
ada empat konsep dasar yang diperkenalkan oleh Piaget, yaitu:
1.   Schemata adalah kumpulan konsep atau kategori  yang digunakan individu ketika beradaptasi dengan lingkungan baru, konsep ini sendiri terbentuk dalam struktur pekiran (Intellectual Scheme) sehingga dengan intelektualnya itu manusia dapat menata lingkungan barunya. jadi shemata adalah suatu struktur kognitif yang slalu berkembang dan berubah, karena proses asimiliasi dan proses akomodasi aktif serta dinamis.
2.   Asimilasi adalah proses penyesuian informasi yang akan diterima sehingga menjadi sesuatu yang dikenal oleh siswa, proses penyesuian yang dilakukan dalam asimilasi adalah mengolah informasi yanga kan diterima, sehingga memilki kesamaan dengan apa yang sudah ada  dalam skema.
3.   Akomodasi adalah penempatan informasi yang sudah di ubah dalam schemata ynag sudah ada, untuk penempatan tersebut scema perlu menyesuiakan diri.
4. Equilibrium (keseimbangan) adalah sebuah proses adaptasi oleh individu terhadap lingkungan individu, agar berusaha untuk mencapai struktural mental atau svhemata yang stabil atau seimbang antara asimilasi dan akomodasi.

B.       Teori Vigosky
Teori belajar Vygotsky menekankan pada sosiokultural dan pembelajaran. Siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya dipengaruhi oleh lingkungan sosial disekitarnya. Pengetahuan, sikap, pemikiran, tata nilai yang dimilki siswa akan berkembang melalui proses interaksi. konsep penting dalam teori Vygosky yaitu Zone Of Proximal Development (ZPD) dan Scaffolding. Zone Of Proximal Development adalah jarak antara perkembangan sesungguhnya dengan tingkat perkembangan potensial dimana siswa mampu mengkonstruksikan pengetahuan dibawah bimbingan orang dewasa. Sedangkan Scaffolding merupakan pemberian kepada peserta didik selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan mmemberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawb yang makin besar setelah dapat melakukannya sendiri.
Kostrukstivisme sosial Vygosky meyakini bahwa interaksi sosial, unsur budaya, dan aktivitas yang membentuk pengembangan dan pembelajaran individu. Vygosky menekankan bahwa semua mental tingkat tinggi seperti berpikir dan pemecahan masalah dimediasi dengan alat-alat psikologis seperti bahasa, lambang dan simbol. Vigosky dalam penelitiannya membedakan dua macam konsep yaitu konsep spontan dan konsep ilmiah. Konsep spontan diperoleh dari pengetahuan sehari-hari, sedangkan konsep ilmiah diperoleh dari pengetahuan dan pembelajaran yang diperoleh dari sekolah. konsep ini saling berhungan antara satu dengan yang lain.
 Menurut teori Vygosky untuk dapat menjelaskan bagaimana pengetahuan dibentuk, maka dirangkum dalam dua penjelasan yang bertahap. Pertama, realitas dan kebenaran dari dunia luar mengarahkan dan menentukan pengetahuan.  Kedua, faktor eksternal dan internal mengarahkan pembentukan pengetahuan yang tumbuh melalui interaksi faktor-faktor esternal (kognitif) dan internal (lingkungan dan sosial).
Dalam teori Vygosky dalam belajar berarti terjadi proses perkembangan internal untuk membentuk pengetahuan barunya denngan bantuan orang lain yang kompeten , dan hal itu terjadi ketika individu berinteraksi dengan lingkungan dengan lingkungan sosialnya. jadi kesiapan individu untuk belajar sangat bergantung pada stimulus lingkungan yang sesuai serta bentuk bimbingan dari orang lain yang berkompeten secara tepat, sehingga pembelajran menjadi lebih bermakna dan terwujud perkembangan petensinya secara tepat.

C.     Teori Jhon Dewey dan Von Graselfeld
Selain Piaget dan Vygosky tokoh lain teori belajar kontruktivisme adalah Jhon Dewey dan Von Graselfeld.
 Dalam hal ini seperti dikemukakan oleh Robert B. Innes (2004:1) bahwa “Constructivist views of learning include a range of theories that share the general perspective that knowledge is constructed by learners rather than transmitted to learners. Most of these theories trace their philosophical roots to John Dewey”.
 Maksudnya adalah bahwa pandangan penganut konstruktivisme mengenai belajar meliputi serangkaian teori yang membagi perespektif umum bahwa pengetahuan dikonstruksi oleh pembelajar bukan ditransfer ke pembelajar.
Kebanyakan dari teori seperti ini berakar dari filsafat Jhon Dewey. Dewey menjelaskan bahwa manusia tidak selayaknya dibagi ke dalam dua bagian, satunya emotional dan yang lainnya intelektual—yang satunya materi nyata, lainnya imajinatif. Hakikat pembelajaran konstruktivistik adalah pengetahuan bersifat non-objektif, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi.
Mengajar berarti menata lingkungan agar siswa termotivasi dalam menggali makna. Atas dasar ini, maka siswa akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalaman dan perspektif yang digunakan dalam menginterpretasikannya.

D.    Teori Santrock (2008)
Konstruktivisme adalah pendekatan untuk pembelajaran yang menekankan bahwa individu akan belajar dengan baik apabila mereka secara aktif mengkonstruksi pengetahuan dan pemahaman.Menurut Santrock (2008) salah satu asumsi penting dari konstruktivistik sosial adalah situated cognition yaitu ide bahwa pemikiran selalu ditempatkan (disituasikan) dalam konteks sosial dan fisik, bukan dalam pikiran seseorang.
Konsep situated cognition menyatakan bahwa pengetahuan dilekatkan dan dihubungkan pada konteks di mana pengetahuan tersebut dikembangkan. Jadi idealnya, situasi pembelajaran diciptakan semirip mungkin dengan situasi dunia nyata. Murid mengkonstruksi pengetahuan melalui interaksi sosial dengan orang lain. Isi dari pengetahuan ini dipengaruhi oleh kultur dimana murid tinggal, yang mencakup bahasa, keyakinan, dan keahlian/keterampilan. Selanjutnya murid mengkonstruksi pengetahuan dengan mentrans-formasikan, mengorganisasikan, dan mereorganisasikan pengetahuan dan informasi sebelumnya.





E.     Teori Poedjiadi (1999: 63)
ada tiga impikasi teori ini yaitu:
1. Tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi.
2. Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik.
3. Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitator, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.

F.            Teori Widodo, (2004)
Pendekatan konstruktivisme memandang bahwa penguatan keterampilan siswa melalui sebuah praktik lapangan (magang) adalah dalam rangka menumbuhkan kepuasan batin agar perasaan siswa terstimulasi secara positif. Konstruktivisme merupakan langkah pendekatan dalam proses pembelajaran yang menekankan pada upaya memberikan kesempatan seluasnya kepada siswa untuk bekerja sendiri dengan menemukan sendiri hal-hal yang harus dipelajari dan selanjutnya dari penemuan tersebut, maka siswa dapat membangun atau mengkonstruksi kemampuan dirinya sehingga dapat menemukan hal-hal yang berguna bagi dirinya dan terus berusaha untuk melahirkan ide-ide baru.
Lima unsur penting dalam lingkungan pembelajaran yang konstruktivis, yaitu:
1.  Memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan siswa.
Kegiatan pembelajaran ditujukan untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan. Siswa didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan baru dengan memanfaatkan pengetahuan awal yang telah dimiliki.
2.  Pengalaman belajar yang autentik dan bermakna.
Segala kegiatan yang dilakukan di dalam pembelajaran dirancang sedemikian rupa sehingga bermakna bagi siswa. Oleh karena itu minat, sikap, dan kebutuhan belajar siswa benar-benar dijadikan bahan pertimbangan dalam merancang dan melakukan pembelajaran.
3.  Adanya lingkungan sosial yang kondusif.
Siswa diberi kesempatan untuk bisa berinteraksi secara produktif dengan sesama siswa maupun dengan guru. Selain itu juga ada kesempatan bagi siswa untuk bekerja dalam berbagai konteks sosial.
4.  Adanya dorongan agar siswa bisa mandiri.
Siswa didorong untuk bisa bertanggungjawab terhadap proses belajarnya. Oleh karena itu siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk melakukan refleksi dan mengatur kegiatan belajarnya.
5.  Adanya usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah.
Sains bukan hanya produk (fakta, konsep, prinsip, teori), namun juga mencakup proses dan sikap. Oleh karena itu pembelajaran sains juga harus bisa melatih dan memperkenalkan siswa tentang  kehidupan ilmuwan.

G.          Teori Hanbury (1996: 3)
konstruktivisme adalah Siswa akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalaman, dan persepektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya
Mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran yaitu:
a.       Siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki.
b.      Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti.
c.       Strategi siswa lebih bernilai.
d.      Siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dari beberapa pandangan diatas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih memfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.

H.    Teori Lebow dalam Hitipeuw (2009)
teori konstruktivistik adalah teori yang menyatakan bahwa peserta didik secara individual harus menemukan dan mentransformasi informasi kompleks, mengecek informasi yang baru terhadap aturan-aturan informasi yang lama, dan merevisi aturan-aturan yang lama bila sudah tidak sesuai lagi. Penekanan teori konstruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori ini adalah sebagai fasilitator atau moderator.
nilai-nilai konstruktivistik yang utama adalah:
  1. Collaboration: apakah tugas-tugas pembelajaran dicapai melalui kerjasama dengan komunitasnya atau tidak?
  2. Personal autonomy: apakah kepentingan pribadi pembelajar menentukan kegiatan dan proses pembelajaran yang diterimanya?
  3. Generativity: apakah ada kemungkinan pembelajar didorong untuk membangun dan menemukan sendiri prinsip-prinsip dan didorong untuk mengelaborasi apa yang diterima?
  4. Reflectivity: apakah setelah pembelajaran selesai misalnya, pembelajar bisa melihat manfaat dari apa yang telah dipelajarinya dan apakah dia menemukan sesuatu yang bisa digunakan untuk memperbaiki belajarnya sesuai dengan konteksnya?
  5. Active engagement: apakah setiap individu terlibat secara aktif dalam belajar untuk membangun pemahamannya atau pembelajar lebih pada menerima saja apa yang diberikan?
  6. Personal relevance: apakah pembelajar bisa melihat keterkaitan dari apa yang dipelajarinya dengan kehidupannya sendiri?
  7. Pluralism: apakah pembelajarannya tidak menekankan pada satu cara atau satu solusi? Apakah semua pendapat pribadi mendapat tempat dalam dialog pembelajaran?

I.       Teori Tytler (1996 : 20)
Agar tercapainya Terdapat 6 hal yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran dalam upaya mengimplementasikan teori belajar kontruktivisme, yaitu :
1.      Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri.
2.      Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif.
3.      Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru.
4.      Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa.
5.      Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka.
6.      Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.


BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
teori konstruktivisme menjelaskan bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan informasi ke dalam situasi lain dan mendapatkan ke mereka sendiri. Dengan dasar pembelajaran harus dikemas ke dalam proses membangun pengetahuan daripada menerima. Sehingga siswa harus aktif dan kreatif dengan berbagai masalah yang ada saja, sedangkan guru hanya sebagai panduan dan fasilitator saja
Tujuan dari konstruktivis sebagai berikut:
1. Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
2. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mendapatkan jawaban Anda sendiri.
3. Membantu siswa untuk mengembangkan wawasan dan pemahaman konsep secara penuh.
4. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang independen.
5. Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana untuk mempelajarinya.
Proses Belajar Dalam Pandangan Konstruktivisme.
a.       Proses pembelajaran konstuktivisme.
b.      Peran siswa.
c.       Peran guru.
d.      Belajar alat.
e.       Evaluasi
B. Saran
Penulis banyak berharap para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan – kesempatan berikutnya.




DAFTAR PUSTAKA

Rahmantyo, G. 2010. Teori Pembelajaran Kooperatif (http://blog-anakdesa.blogspot.com/2010/01/teori-belajar-kooperatif.html, Diakses tanggal 05 Oktober 2013.
IFZA.2010.(on-line). Teori belajar konstruktivistik .ifzanul.blogspot.com /2010/05/teori-belajar-konstruktivistik.html . Diakses tanggal 05 Oktober 2013.
Karwono, Mularsih. 2010. Belajar dan Pembelajaran serta Pemanfaatan Sumber Belajar. Jakarta: Cerdas Jaya.
Walker.2009.(on-line). CONSTRUCTIVISTTHEORY . http://web.syr.edu/ ~walker/constructivisttheory.html . Diakses tanggal 05 Oktober 2013.